Latest News

Hikayat Putri Pembayun, Kisah Pernikahan Politis Mataram Dan Mangir

Pada masa Kerajaan Mataram dipimpin oleh Panembahan Senopati, sang raja agung Mataram, ada satu kawasan yang sangat sulit ditaklukkan oleh Mataram, yaitu kawasan perdikan di desa Mangir yang terletak di pinggiran Kali Progo, masuk dalam wilayah Kabupaten Bantul, yang dikuasai oleh Ki Ageng Mangir Wonoboyo.

Dalam usahanya untuk menaklukkan desa Mangir itu, Panembahan Senopati telah banyak mengirimkan pasukannya untuk berperang dengan Ki Ageng Mangir, akan tetapi setiap kali terjadi peperangan pasukan Mataram berhasil dipukul mundur oleh pasukan  Ki Ageng Mangir. Ki Ageng Mangir  adalah sosok pemimpin yang gagah perkasa, tampan, dan sakti mandraguna, terutama dengan tombaknya yang terkenal yaitu tombak Kyai Baru Klinthing.

Karena selalu mengalami kekalahan setiap kali berperang dengan pasukan Ki Ageng Mangir, Panembahan Senopati selanjutnya mengubah strateginya untuk menaklukkan desa Mangir, yaitu dengan melaksanakan misi politik Rantai Mas sang putri Pembayun. Dalam strateginya tersebut, Putri Pembayun yang berparas mengagumkan dan sangat hebat dalam melaksanakan gerakan tarian diperintahkan oleh ayahnya, yaitu Panembahan Senopati, untuk menjadi seorang penari Ledhek.

Dengan perannya sebagai penari Ledhek tersebut, putri Pembayun harus berkeliling bersama rombongan keseniannya untuk mengadakan pertunjukan Ledhek ke pelosok-pelosok desa dalam rangka menaklukan Ki Ageng Mangir Wonoboyo.


Pada suatu kesempatan, sampailah rombongan kesenian Ledhek keliling itu di desa Mangir. Sasat pertunjukan Ledhek digelar di halaman rumah Ki Ageng Mangir, sang penguasa Mangir yang turut menyaksikan kesenian Ledhek tersebut sangat terpesona dengan gerakan tari, joget, bunyi merdu, dan kecantikan paras Ledhek Pembayun. Maka seusai pertunjukan, Ki Ageng Mangir memanggil Pembayun dan dipersuntingnya sebagai isteri.

Pada awalnya, ijab kabul antara Ki Ageng Mangir dan Pembayun berjalan wajar dan biasa-biasa saja sebagaimana kebayakan orang berumah tangga. Barulah setelah beberapa bulan menjadi isteri Ki Ageng Mangir, Pembayun bercerita kepada suaminya bahwa ia bersama-sama yaitu putri Panembahan Senopati dari Mataram. Mendengar dongeng dari isterinya tersebut, Ki Ageng Mangir sontak tersentak. Namun apa mau di kata, ijab kabul telah terjadi. Dan Ki Ageng Mangir sudah terlanjur jatuh cinta pada Pembayun, ditambah lagi ketika itu Pembayun tengah mengandung benih Ki Ageng Mangir. 

Ki Ageng Mangir yang gagah dan berjiwa ksatria, balasannya mengajak Pembayun untuk menghadap kepada Panembahan Senopati, yang telah menjadi bapak mertuanya, untuk meminta restunya. Kedatangan anak dan mantu itu mendapat sambutan hangat dari Panembahan Senopati, sang raja agung Mataram beserta dengan para punggawanya,

Namun demikian, Ki Ageng Mangir mencicipi kegelisahan di dalam dada. Oleh alasannya yaitu ketika akan menghadap bapak mertuanya, yaitu Panembahan Senopati, Ki Ageng Mangir tidak diperkenankan oleh pengawal kerajaan untuk membawa tombak Kyai Baru Klinthing miliknya. Tombak pusaka sakti yang diyakini sebagai jelmaan roh naga penghuni telaga Rawapening di Ambahrawa.

Saat menghadap Panembahan Senopati, Ki Ageng Mangir yang menyadari posisinya sebagai anak mantu, melaksanakan sungkem kepada Panembahan Senopati sebagai bentuk penghormatan seorang anak mantu kepada bapak mertua. Saat sungkem itulah, rambut Ki Ageng Mangir dijambak oleh Panembahan Senopati dan kemudian kepala Ki Ageng Mangir dibenturkan pada sebongkah batu gilang yang merupakan tempat duduknya. Sontak kegaduhan terjadi di istana Mataram. Pasukan pengawal Ki Ageng Mangir berontak melawan, tapi apalah artinya, jumlah mereka terlewat sedikit ditambah lagi persenjataan mereka juga telah dilucuti sebelum masuk dalam istana Mataram. Akhirnya, pasukan Ki Ageng Mangir dapat ditaklukkan dan Ki Ageng Mangir tewas dalam peristiwa tersebut.

Melihat tewasnya Ki Ageng Mangir, Pembayun yang juga sudah terlanjur mencintai Ki Ageng Mangir sebagai suaminya, menangis histeris. Putri Pembayun sangat menyesali kunjungannya kepada orang tuanya tersebut. Karena baginya, Ki Ageng Mangir yaitu cinta sejatinya, sementara desa Mangir yaitu tanah rakyatnya yang mengabdi kepadanya.

Setelah Ki Ageng Mangir Wonoboyo, yang dianggap musuh dan sekaligus keluarga Mataram, meninggal dunia, jenazahnya kemudian dimakamkan di pemakaman Raja-Raja Mataram di Kota Gede Yogyakarta, dengan separuh jasad di luar benteng dan separuh jasadnya yang lain di dalam benteng. Sebagian orang ada yang mengatakan bahwa Ki Ageng Mangir dimakamkan di Desa Tangkilan, Godean, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Hingga sekarang masih dapat disaksikan petilasan perjalanan Ki Ageng Mangir dan putri Pembayun ketika hendak menghadap Panembahan Senopati hingga meninggalnya Ki Ageng Mangir, di antaranya yaitu sendang di kawasan Madukismo tempat rombongan Ki Ageng Mangir beristirahat dan kerikil gilang di Kota Gede tempat dibenturkannya kepala Ki Ageng Mangir. 

Kisah Pembayun ini merupakan suatu pengorbanan cinta demi ambisi kekuasaan. Segala cara dilakukan untuk mengukuhkan kekuasaan, walaupun mengorbankan keluarganya sendiri.

Semoga bermanfaat.

0 Response to "Hikayat Putri Pembayun, Kisah Pernikahan Politis Mataram Dan Mangir"