Latest News

Pembuktian Dengan Persangkaan-Persangkaan

Pasal 163 H.I.R menyatakan bahwa "Barang siapa mengatakan mempunyai barang suatu hak, atau mengatakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah hak orang lain, haruslah menandakan hak itu atau adanya perbuatan itu ".

Apabila dalam suatu pemerikasaan perkara perdata sulit untuk menerima saksi yang melihat, mendengan, atau mencicipi sendiri, maka peristiwa hukum yang harus dibuktikan diusahakan supaya dapat dibuktikannya dengan persangkaan-persangkaan. Digunakan perkataan persangkaan-persangkaan, oleh sebab satu persangkaan saja tidak cukup untuk menandakan sesuatu, harus banyak persangkaan-persangkaan yang satu sama lain saling menutupi, berafiliasi sehingga peristiwa atau dalil yang disangkal dapat dibuktikan.

Persangkaan dalam hukum program perdata ibarat petunjuk dalam hukum program pidana, hanya saja tidak dapat mencampuadukkan kedua pengertia tersebut. Dalam hukum program perdata harus dipakai perkataan persangkaan dan bukan petunjuk. 

Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti, atau peristiwa yang dikenal, ke arah suatu peristiwa yang belum terbukti. Yang menarik kesimpulan tersebut yaitu hakim atau undang-undang. Sehingga persangkaan terbagi menjadi dua macam, yaitu : 
1. Persangkaan Hakim.
Persangkaan hakim sebagai alat bukti mempunyai kekuatan bukti bebas, dengan kata lain terserah pada penilaian hakim yang bersangkutan, kekuatan bukti apa akan diberikan kepada persangkaan hakim tertentu itu. Apakah akan dianggap sebagai alat bukti yang berkekuatan sempurna, atau sebagai bukti permulaan, atau tidak berkekuatan apapun. Pada umumnya apabila hanya ada satu persangkaan hakim saja, maka persangkaan tersebut tidaklah dianggap cukup untuk menganggap dalil yang bersangkutan  itu terbukti. Atau persangkaan hakim itu gres merupakan bukti lengkap, apabila saling berafiliasi dengan persangkaan-persangkaan hakim yang lain, yang terdapat dalam perkara tersebut.
Contoh persangkaan hakim yaitu sehubungan dengan adanya gugatan perceraian yang didasarkan atas perzinahan. Karena sulit sekali untuk menemukan saksi-saksi yang melihat sendiri waktu perzinahan tersebut terjadi. Oleh sebab itu sudah menjadi yurisprudensi tetap, bahwa apabila dua orang pria dan wanita cukup umur yang bukan suami isteri tidur bersama dalam satu kamar yang hanya mempunyai satu daerah tidur maka untuk perbuatan perzinahan telah terdapat satu persangkaan hakim.
Pengertian persangkaan hakim sebetulnya amat luas. Segala peristiwa, keadaan dalam sidang, bahan-bahan yang didapat dari pemeriksaan perkara tersebut, semuanya dapat dijadikan materi untuk menyusun persangkaan hakim. Sikap salah satu pihak dalam dalam perkara di persidangan, juga dapat menyebabkan persangkaan hakim. Jawaban yang mengelak, tidak tegas dan bersifat plin-plan menunjukkan persangkaan hakim bahwa dalil pihak lawan yaitu benar, atau setidaknya dapat dianggap sebagai suatu hal yang negatif bagi pihak tersebut.
2. Persangkaan Undang-Undang.
Pasal 1916 KUH Perdata menyatakan : Persangkaan undang-undang yaitu persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu. Persangkaan-persangkaan semacam itu yaitu si antaranya :
  1. Perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, sebab semata-mata demi sifat dan ujudnya, dianggap telah dilakukan untuk menyelundupi suatu ketentuan undang-undang.
  2. Hal-hal dimana oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasan utang disimpulkan dari keadaan-keadaan tertentu.
  3. Kekuata yang oleh undang-undang diberkan kepada suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak.
  4. Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengukuhan atau kepada sumpah salah satu pihak.
Persangkaan-persangkaan undang-undang tersebut dalam hukum program perdata dianggap sebagai materi perbandingan saja, yang oleh hakim masih harus dipertimbangkan apakah dalam suatu kasus tertentu, berlakun ketentuan-ketentuan tersebut. Terutama dalam kasus-kasus yang menyangkut harta benda perkawinan dan hibah antara suami isteri, oleh sebab hukum keluarga menurut KUH Perdata yaitu berbeda dengan hukum keluarga yang diatur dalam undang-undang perkawinan. 

Dalam praktek pembuktian dengan mempergunakan persangkaan-persangkaan, baik persangkaan hakim mupun persangkaan undang-undang, banyak dipergunakan. Dalam duduk perkara sopan santun waris, sering dipergunakan persangkaan hakim, misalnya bahwa oleh sebab penggugat sudah duapuluh tahun lebih tinggal membisu tanpa ada sesuatu alasan yang sah, hal itu memberi persangkaan hakim yang beralasan, bahwa penggugat sebetulnya tidak berhak atas tanah yang dipersengketakan tersebut.

Semoga bermanfaat.



0 Response to "Pembuktian Dengan Persangkaan-Persangkaan"