Latest News

Pengakuan Sebagai Alat Bukti Di Persidangan

Dalam H.I.R ketentuan yang mengatur wacana legalisasi tercantum dalam :
  • Pasal 174 H.I.R yang berbunyi : Pengakuan yang diucapkan dihadapan hakim, menjadi bukti yang cukup untuk memberatkan orang yang mengaku itu, baik legalisasi itu diucapkan sendiri, baik pun diucapkan oleh seorang istimewa yang dikuasakan untuk melakukannya.
  • Pasal 175 H.I.R yang berbunyi : Diserahkan kepada pertimbangan dan awasan hakim, akan menentukan kekuatan mana akan diberikannya kepada suatu legalisasi dengan ekspresi yang diperbuat di luar hukum.
  • Pasal 176 H.I.R yang berbunyi  Tiap-tiap legalisasi harus diterima segenapnya, dan hakim tidak bebas akan mendapatkan sebagiannya saja dan menolak bab yang lain sehingga menjadi kerugian kepada orang yang mengaku itu, melainkan jikalau orang yang berutang untuk melepaskan dirinya, meyebutkan, bersama legalisasi itu, beberapa perbuatan yang konkret palsu.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, nyatalah bahwa dalam hukum program perdata terdapat dua macam pengakuan, yaitu :

1. Pengakuan yang Dilakukan di Depan Sidang.
Pengakuan yang dilakukan dihadapan hakim menjadi bukti yang cukup untuk memperberat orang yang mengaku tersebut, baik legalisasi itu diucapkan sendiri oleh yang bersangkutan, atau pun legalisasi itu dilakukan oleh seorang yang istimewa dikuasakan untuk melakukannya. Pengakuan yang dilakukan di depan sidang mempunyai kekuatan bukti yang sempurna.
Pengakuan yang dilakukan di depan sidang baik yang diberikan oleh yang bersangkutan sendiri ataupun melalui kuasanya, merupakan bukti yang tepat dan mengikat. Hal ini berarti, bahwa hakim harus menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui itu yakni benar, meskipun sesungguhnya belum tentu benar, akan tetapi alasannya yakni adanya legalisasi tersebut gugatan yang didasarkan atas dalil-dalil itu harus dikabulkan.
Pengakuan di depan sidang tidak boleh ditarik kembali. Pengecualian terhadap azas ini yakni apabila legalisasi itu merupakan suatu kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi. Sesuatu legalisasi di depan sidang dalam proses tertulis, dilakukan tertulis dalam surat jawaban, di mana kekuatan pembuktiannya dipersamakan sebagai suatu legalisasi secara ekspresi di depan sidang.
Menurut KUH Perdata, legalisasi yang dikemukakan di depan sidang merupakan persangkaan undang-undang. Salah satu persangkaan undang-undang yang disebut dalam ketentuan pasal 1916 KUH Perdata yakni legalisasi di depan sidang. Sedangkan menurut pasal 1921 KUH Perdata, pembuktian melawan terhadap persangkaan undang-undang tidak diperkenankan. Oleh karenanya, dengan diakuinya dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak lawan, maka kebenaran gugat yang didasarkan atas dalil yang diakui itu seketika cukup terbukti dan balasannya gugatan harus dikabulkan. Dalam hukum pembuktian perihal legalisasi dan tidak disangkalnya dalil pihak lawan, mempunyai kekuatan hukum yang sama.

2. Pengakuan yang Dilakukan di Luar Persidangan. 
Pengakuan yang dilakukan di luar persidangan, perihal penilaian terhadap kekuatan pembuktiannya, diserahkan kepada budi hakim, atau dengan kata lainmerupakan bukti bebas, yang berarti bahwa hakim leluasa untuk memperlihatkan kekuatan pembuktian, atau pula hanya menganggap sebagai bukti permulaan.
Pengakuan di luar persidangan yang dilakukan secara tertulis atau ekspresi merupakan bukti bebas. Perbedaannya terletak pada bahwa legalisasi di luar sidang secara tertulis tidak usah dibuktikannya lagi wacana adanya legalisasi tersebut, sedang bagi legalisasi di luar sidang yang dilakukan secara lisan, apabila dikehendaki agara dianggap terbukti adanya legalisasi semacam itu, masih harus dibuktikan lebih lanjut dengan saksi atau alat-alat bukti yang lainnya.

Disamping kedua legalisasi tersebut di atas, dalam hukum program perdata dikenal pula dengan apa yang dinamakan legalisasi berembel-embel. Pengakuan berembel-embel terbagi menjadi dua macam, yaitu :
  • Pengakuan dengan klausula.
  • Pengakuan dengan kwalifikasi. Pengakuan dengan kwalifikasi ini menunjukkan bahwa korelasi hukum antara kedua belah pihak lain dari pada yang menjadi dasar gugatan.
Tiap-tiap legalisasi harus diterima seluruhnya, dan hakim tidak bebas hanya mendapatkan sebagian saja dan menolak sebagian yang lain, sehingga menjadi kerugian kepada orang yang mengaku tersebut. Hal tersebut sesuai dengan asas "onsplitsbaar aveu", yang artinya legalisasi yang tidak boleh dipisah-pisah. Asas onsplitsbaar aveu tersebut dimaksudkan untuk melindungi pihak yang jujur, yang secara terus terperinci mengemukakan segala hal yang telah terjadi dengan sebenarnya.   

Larangan memisah-misahkan suatu legalisasi tidak berlaku lagi, apabila tergugat dalam pengakuannya tersebut, guna membebaskan dirinya telah mengemukakan peristiwa-peristiwa yang ternyata palsu. Hal ini berarti bahwa apabila penggugat mampu membuktikan, bahwa dalil-dalil yang dikemukakan oleh tergugat sebagai pembebasan yakni palsu, maka pegakuan berembel-embel tadi oleh hakim dapat dianggap sebagai legalisasi yang murni.

Semoga bermanfaat.

0 Response to "Pengakuan Sebagai Alat Bukti Di Persidangan"